Cerita pendek adalah salah satu karya tulis yang dibuat oleh penulis dengan tokoh utama yang mengalami peristiwa dalam cerita. Cerita pendek (cerpen) lebih sederhana dibandingkan dengan novel.
Cerpen termasuk kedalam Sastra populer. Cerpen memiliki karakteristik tersendiri. Yaitu : Ringkas, penuh imajinasi, tokoh atau karakter yang terbatas, fokus pada inti cerita.
Jika kamu termasuk pembaca atau penulis yang menyukai jenis cerpen , maka kamu dapat membaca cerpen yang berjudul " Maaf Untuk Ibu" .
MAAF UNTUK IBU
Oleh : Milanazia S.Y
“Dasar pemalas! Percuma cuci pakaian segunung tapi tidak dijemur. Kau pikir matahari bisa masuk ke dalam rumah ?”
Suara teriakan dari arah dapur membuat telingaku panas. Baru saja ingin memakai baju, namun ibu sudah misuh-misuh tanpa bertanya terlebih dahulu.
Aku bergegas menyelesaikan kegiatanku. Ku langkahkan kaki menuju dapur, tapi tak ada ibu dan keranjang pakaian yang sudah ku cuci sedari pagi tadi.
“Punya anak tapi pemalas, apa-apa harus orang tua yang mengerjakan. Piring menumpuk, pakaian menggunung, rumah berantakan.”
Aku mengintip dari balik jendela, melihat ibu sedang menjemur pakaian dengan suara teriakan yang sengaja ia keraskan. Hatiku mencelos, mendengar semua perkataannya yang tidak memikirkan perasaanku. Aku melihat beberapa tetangga lewat depan rumah, dan menimpali ucapan ibu yang tidak mengenakkan di telinga.
Perasaan malu dan marah teredam dengan air mata yang luruh begitu saja. Tidak bisakah ibu menjaga perasaanku sedikit saja? Selalu saja seperti itu.
Aku yang sudah kelelahan mengurus pekerjaan rumah, masih saja mengatakan diriku seorang gadis pemalas. Kerap kali aku ingin membalas ucapannya, namun hanya aku telan mentah-mentah dengan perasaan dongkol. Tak mungkin aku membentak ibu, meskipun rasanya sakit jika terus dihujani ucapan-ucapan yang mampu membuat luka di hati.
Dengan langkah tergesa kubuka pintu kamar dan membantingnya keras. Biar saja, jika ia mendengarnya. Aku bahkan tidak peduli jika lagi-lagi ibu datang memarahiku. Baru saja aku merebahkan diri, namun lagi-lagi ibu datang.
“ Tidur saja kerjaan mu itu, apa kau mau ibu lagi yang memasak dan mencuci piring di dapur hah?”
Aku tidak memperdulikan teriakannya sama sekali. Ku tutup mata dengan perasaan kesal dan berbalik memunggunginya. Kerap kali aku mengelus dada, agar tak ada kata kasar keluar dari mulutku untuk membentak ibu.
Sedari kecil ibu terus berlaku kasar terhadapku. Terlintas potongan-potongan memori bak kaset rusak di ingatanku. Ibu terus saja mengomel, setiap kerjaan yang kubuat terus saja ibu komentari seakan tidak ada yang benar di matanya.
Pernah juga aku diomeli habis-habisan oleh ibu karena, aku lupa menyiram tanaman depan rumah. Tapi ,ibu marah seolah-olah aku tak pernah menyiramnya berbulan-bulan.
Sudah dua hari setelah kejadian itu, aku terus saja diam dan tak banyak bicara. Ayah yang melihat gelagat ku bertanya dengan penuh kelembutan.
Sikap ayah dan ibu berbanding terbaik, makanya rasa kasih sayangku berat sebelah. Aku hanya menggeleng lemah, tak ingin ada kekacauan lagi dalam rumah.
Rasanya sudah lelah jika harus mendengar pertengkaran dan suara bantingan. Aku paham betul, sikap ibu seperti ini karena keuangan dan kebutuhan ekonomi kami yang pas-pasan.
Ibu telah lelah dengan pekerjaan rumah dan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Ibu kelimpungan menghadapi tanggung jawabnya sebagai ibu dan istri. Aku terus menurut dan patuh akan kemauannya, agar beban dipundak ibu tidak semakin berat, dan sebagai baktiku untuk ibu.
Pekan depan adalah jadwal keberangkatanku. Meninggalkan desa dan juga rumah. Aku sibuk mengepak barang dan segala keperluan yang akan aku bawa.
Tahun ini adalah tahun pertamaku, memasuki jenjang perkuliahan. Rasa senang dan penuh semangat terus ku perlihatkan sedari pagi. Sebelum mengemasi barang, terlebih dahulu aku memprioritaskan kerjaan rumah.
Agar ibu tak ada alasan untuk menghalauku mempersiapkan segalanya. Aku terus saja menghindar jika melihat ibu yang seolah ingin menghampiriku. Biarkan saja, penyesalan datang di lubuk hatinya. Agar ia tahu, bahwa perilakunya dapat membuat hatiku sakit.
Kali ini biarkan egoku yang mengambil alih. Aku tepis rasa kasihan dan iba, ketika melihat ibu mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka.
Hari yang kutunggu telah tiba. Setelah adzan subuh, aku langsung bergegas bersiap dan memeriksa barang-barang yang akan kubawa. Takut jikalau nanti ada yang terlupa.
Aku melihat ayah dari ambang pintu. Tak tahu sudah berapa lama ia berdiri mengamati ku yang tidak menyadari kehadirannya. Aku bangkit dan mendekati ayah. Wajahnya yang mulai menua , menatapku dengan rasa sedih dan tak rela.
Ia memelukku dan terdengar suara sesegukan yang tertahan dari mulutnya. Hatiku sakit mendengar ayah yang menahan tangisnya.
“ Maafkan Adiba ayah.”
Ayah melepas pelukannya. Menatapku lama . Ayah menggelengkan kepalanya lemah, dan menepuk pundakku seolah memberi semangat untukku.
“Pergilah nak, ayah berdoa agar kau selalu dilimpahkan kesehatan dan kesuksesan disana.”
Ayah tersenyum, namun senyum itu ku artikan sebagai ketidak relaan ayah untuk melepas ku jauh dalam perantauan. Tak ada pilihan lain.
Hari itu, aku benar-benar pergi meninggalkan rumah dan segala kenangan indah dan pahit yang kubawa. Ibu tak mengantarku ke bandara, dengan alasan tak enak badan.
Hari itu aku hanya menyalaminya dengan tubuhnya yang sedang rebahan dan enggan menatapku. Perasaan kecewa lagi-lagi bersarang di benakku. Mungkin, ibu benar-benar tak menyayangi anaknya.
Aku menatap gawai dan menemukan banyak notifikasi pesan masuk. Ibu sedang sakit dan sudah dua tahun aku tak pulang ke rumah. Ayah kerap kali menasehati, agar tak ada rasa dendam di hati.
Aku tahu betul, jika ayah mengetahui alasan mengapa aku tak kunjung pulang. Namun, ayah tak pernah mempermasalahkan kepulanganku meski hatinya teramat rindu.
Aku memberanikan diri untuk pulang tanpa memberitahu ayah . Aku masuk kedalam rumah tak lupa mengucap salam. Menatap kedua adikku sedang bermain di ruang keluarga. Mereka bersorak, ketika mendapati diriku telah pulang ke rumah.
Aku memberikan kotak kardus berisikan oleh-oleh yang telah ku persiapkan. Ayah datang dengan langkah tergesa-gesa, karena mendengar adikku berseru “Kak Adiba pulang!” Aku menatap ayah terlihat lebih kurus dari terakhir kami bertemu.
Aku menangis dan berhambur ke pelukan ayah. Memohon ampun karena mementingkan egoku yang tak kunjung surut.
“Masuklah dulu, temui ibumu. Dia sangat merindukanmu nak.” Aku hanya mengangguk dan mengetuk pintu kamar sebelum membukanya.
Tubuhnya terlihat sangat kurus dan lemah. Tak seperti dulu yang siap mengomeli pekerjaanku ketika di rumah. Ibu menatapku lama ketika meraih tangan ibu dan menyalaminya dengan takzim.
“ Maafkan ibu nak. Ibu tahu, kau membenci ibumu ini. Ibu harap, kau tak menyalah artikan perbuatan ibu dahulu. Ibu menyayangimu dalam bentuk yang berbeda, agar kau menjadi perempuan yang tegar. Ibu tak ingin seperti ibu yang lain, memanjakan anak hingga kelak ia keluar dari sarang ia seolah hilang arah karena tak ada yang melindungi. ”
Tubuhku terasa beku, ketika ibu mengusap kepalaku dan mengucapakan kalimat yang mampu membuat rasa sakit ku luruh terhempas ke tanah dan tak tersisa.
Aku menganggukkan kepala dan terisak. Perasaan bersalah dan yang mengganjal di hati terhapus sudah. Memaafkan ibu, adalah damai yang dulu tak kunjung ku dapati.

Komentar
Posting Komentar